Taman Budaya Provinsi Bali merupakan ruang beragam peristiwa budaya penting tingkat lokal, nasional, dan internasional. Tersimpan pula berbagai koleksi karya seni karya maestro pendahulu yang berharga. Capaian para maestro, tak lepas dari kehadiran Taman Budaya Provinsi Bali sebagai rumah kreasi, ruang ekspresi dan apresiasi, serta laboratorium penciptaan seni yang tak pernah surut oleh waktu.
Film Dokumenter 5 Maestro : Werdhi Cipta Sang Mumpuni (2020) menghadirkan proses kreatif dan kisah latar belakang penciptaan dari 5 tokoh mumpuni, di antaranya : Ni Made Rusni (Seni Pertunjukan Tradisi Arja), I Wayan Jebeg (Karawitan), Umbu Landu Paranggi (Sastra), Made Wianta (Seni Rupa), dan I Gusti Ngurah Gede Pemecutan (Seni Rupa).
Film dokumenter ini diproduksi oleh UPTD. Taman Budaya Provinsi Bali, didukung oleh Rumah Penggak Men Mersi bekerja sama dengan Sahaja Sehati.
Taman Budaya Provinsi Bali menyimpan warisan budaya luhur dalam bentuk tangible atau intangible yang tak ternilai dari para maestro. Hal tersebut dapat dikelola di masa mendatang sebagai sumber riset atau kajian bagi peneliti Indonesia maupun mancanegara. Tujuannya adalah untuk mengembangkan pemikiran dan menghasilkan kreasi-kreasi inovatif yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa, baik itu tataran filosofis maupun tataran praktis.
Menimbang visi luhur tersebut, patut kita semua turut bersemangat dalam kreativitas seni serta menjaga dan merawat keberadaan Taman Budaya Provinsi Bali.
Ni Made Rusni
Siapa yang tidak mengenalnya, Ia memang maestro dramatari arja. Bukan hanya piawai mengolah tubuhnya, menghadirkan gerak yang lincah dan memikat, serasi se-iring gamelan. Namun juga mumpuni merangkai kata yang spontan dan segar, tak pelak penonton pun menyambutnya meriah.
Penampilannya selalu ditunggu-tunggu di Pesta Kesenian Bali yang diadakan di Taman Budaya Provinsi Bali. Itulah sosok Ni Made Rusni, lahir tahun 1952 di Singapadu, Gianyar. Kini menetap di Banjar Puseh Kangin, Sanur, Denpasar.
Kesehariannya tidak bisa lepas dari kesenian arja yang dilakoninya sejak usia delapan tahun. Membawakan tembang lagu Bali yang digunakan dalam pementasan seni Arja memang kesenangannya sejak kecil.
Tahun 1960, ia mulai belajar tari arja di Desa Singapadu, Kabupaten Gianyar. Setelah terampil menguasai gerak dan tari arja, kemudian bergabung dengan Keluarga Kesenian Bali (KKB) RRI Denpasar dan mendapat peran sebagai Desak Rai dalam pementasan berjudul “Kelimun Hilang Serepet Teke”.
Istri dari I Made Kunawijaya, dan Ibu dari tiga putra Made Suarya, I Nyoman Sujena, dan I Ketut Arsana ini tergabung di dalam sekaa Wija Ratnadi RRI Denpasar mengemban misi kesenian arja. Bersama sosok lainnya, seperti: Ni Ketut Ribu, Monjong, Made Monog, Ruju, Candri, Liges, dan Cok Rai Partini, ia adalah tokoh Dramatari serta penembang lagu dalam pementasan drama tari arja.
Sejak pementasan arja bertajuk “Godogan” perannya sebagai Desak Rai berubah menjadi Galuh Liku hingga sekarang. Siaran drama tari arja RRI Denpasar kala itu, setiap Minggu pukul 10.00 – 12.00 WITA, menjadi favorit masyarakat Bali.
Ni Made Rusni sempat pentas keliling Pulau Dewata serta tampil di Jakarta, Kalimantan, dan Sulawesi. Selain itu, ia senantiasa bersenang hati melatih generasi muda yang tertarik mempelajari kesenian Bali, khususnya tari arja. Ia menerima anugerah Seni Dharma Kusuma, penghargaan tinggi dari Pemerintah Provinsi Bali pada 14 Agustus 2007.
I Wayan Djebeg
Sukawati memang terkenal melahirkan seniman-seniman sohor, namun bila menyebut maestro Tabuh, seketika orang akan teringat I Wayan Jebeg. Dilahirkan di Banjar Batur, Batubulan, Sukawati, Gianyar, tahun 1932, sedini kanak-kanak telah menekuni seni, terutama gamelan. Walau lahir dari keluarga kurang berada, ia memiliki semangat tinggi untuk belajar. Ketika ia duduk di kelas 3 SR (Sekolah Rakyat) tahun 1942, Jebeg tertarik menjadi penari gandrung. Sosoknya yang tinggi langsing dengan mudah memikat penonton, terlebih lagi gerak dan liuk tubuhnya yang serasi mengikuti irama gamelan.
Semangatnya yang tak kenal putus asa untuk menekuni kesenian, dan dilakukannya secara otodidak, akhirnya mengantar Jebeg meyakini bahwa panggilan hidupnya adalah menjadi seorang seniman, yang terbukti mumpuni. Ia menabuh bersama sekaa gong banjarnya, tampil dari desa ke desa. Berkat keahliannya menguasai berbagai jenis gamelan, pada tahun 1962 ia mendapatkan pekerjaan di AJENDAM KODAM Udayana. Selama 27 tahun Jebeg berkeliling Indonesia bermain gamelan menghibur masyarakat, terlebih warga Angkatan Darat yang pada umumnya mencintai kesenian Bali. Ia juga pernah tampil di Amerika, Jerman, Italia, India serta Jepang.
Kakek 15 kompi dan 10 cucu ini dikenal sebagai pencipta tabuh klasik Lelambatan. Karya-karya Jebeg selalu memiliki ciri dan karakter tersendiri. Karena kepiawaiannya Jebeg didapuk sebagai guru luar biasa di Kokar selama 10 tahun (1989-1998) serta dosen luar biasa ASTI Denpasar yang kemudian menjadi STSI dan kini ISI Denpasar.
Taman Budaya Denpasar menjadi saksi kemaestroannya sebagai penabuh. Setiap Pesta Kesenian Bali, ia hadir bersama sekaa gongnya dan selalu mendapat sambutan hangat dari para penonton. Jebeg, memang sejak tahun 1982, ditunjuk sebagai penabuh Gong Kebyar duta Kabupaten Gianyar. Ia mahir memainkan Terompong dan Kendang, dan sebagai seniman muda, ia bangga bisa tampil pada ajang tahunan bergengsi tersebut. Apalagi sejak tahun 1985 ia didapuk sebagai pembina sekaa Gong Kebyar Kabupaten Gianyar.
Tahun 1985, Ia sempat meraih Piagam Penghargaan dalam rangka HUT Kemerdekaan RI dari Menteri Sudharmono SH; Piagam Wijaya Kusuma tahun 1986; Piagam Dharma Kusuma Madia Tahun 1987; Piagam Pesta Seni tahun 1991.
Made Wianta
Maestro Made Wianta lahir 20 Desember 1949 di Apuan, Tabanan, Bali. Tahun 1967-1969, ia belajar di Sekolah Seni Rupa Indonesia di Denpasar. Ia melanjutkan pendidikan seninya pada tahun 1975-1977 di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Selama 1975-1977, Ia menetap di Brussel, Belgia untuk menambah pengalaman di bidang seni.
Karyanya telah banyak dipamerkan, baik pameran bersama maupun tunggal. Pertama kali pameran bersama tahun 1968 di Museum Bali. Di tahun 1976, Wianta pertama kali mengadakan pameran tunggal di Cultural Jacques Frank, di Brussel, Belgia. Selanjutnya karyanya tercatat pernah dipamerkan di Jepang, Singapura, Bangladesh, Filipina, Malaysia, Thailand, Amerika, Italia, Guam, Uni Emirat Arab, dan berbagai negara lainnya.
Made Wianta telah menerima berbagai penghargaan. Diantaranya adalah “Honorary Professor” dari Academico Internationale Greci-Marino di Italia (1996); “The Most Admired Man of Decade” dari American Biographical Institute di Amerika (1997); “Dharma Kusuma” dari Pemerintah Propinsi Bali (1998); “The Longest Handwritten Poem Writer” dari MURI (2000); “Ajeg Bali Figure Award” dari HIPMI (2003); Penghargaan dari Junior Chamber International (2007); dan “Echosscape Wianta Galaxy” di Jepang (2008), serta masih banyak lagi.
Made Wianta bersama Komunitas Sahaja |
Tahun 1999, ia menyelenggarakan pertujukan seni “Art and Peace” melibatkan 2000 penari remaja dengan koreografi mengikuti gerak ombak. Made Wianta merespon kondisi sosial politik pasca Orde Baru yang penuh kekerasan dan cenderung chaos. Pembentangan kain sepanjang 2000 meter itu bertuliskan kata-kata perdamaian dari para tokoh dunia dalam beragam Bahasa yang dijatuhkan dari helikopter dan terhampar sepanjang Pantai Padang Galak, Denpasar.
Dalam karya-karyanya, Made Wianta piawai dalam mengkombinasikan berbagai unsur, estetis, konseptual, lokal maupun universal, serta unsur masa kini dan masa lalunya. Maestro Made Wianta berpulang pada 13 November 2020 di Denpasar.
I Gusti Ngurah Gede Pemecutan
I Gusti Ngurah Gede Pemecutan, maestro dengan karakter dan ciri karya yang khas. Ia pelopor teknik melukis dengan menggunakan sidik jari. Pria kelahiran 9 Juli 1936 ini mendapatkan berbagai penghargaan dari Pemerintah Provinsi Bali, award tingkat nasional, bahkan REKOR MURI.
Ia pernah bekerja di Perusahaan Tekstil Balitex lalu pindah ke PT. USINDO Cabang Denpasar yang kini menjadi PN Cipta Niaga setelah sempat menjadi Perusahaan Negara Jaya Bhakti. Di Jaya Bhakti ia mendapat tugas mengumpulkan dan menseleksi barang-barang seni dan kerajinan Bali (lukisan dan patung-patung) untuk di ekspor.
Tahun 1963 ia mulai melukis secara modern. Ia pelukis ototidak tekun bereksprimen dan tak pernah mengenal lelah mencari bentuk dan Ngurah Gede Pemecutan berkisah awalnya ciri khas itu muncul saat ia mengerjakan sebuah lukisan tari baris, tepatnya pada tanggal 9 April 1967. Lukisan itu tak kunjung selesai, menimbulkan kekesalan yang membuatnya berniat merusak lukisan itu dengan menempelkan jemarinya yang penuh cat. Setelah beberapa waktu ditinggalkan, Ia merenungi lukisannya tersebut dan muncul inspirasi untuk menciptakan lukisan dengan jari telunjuk.
Ia tak Cuma seorang pelukis namun juga seorang organisator. Tahun 1966 ia mengkoordinir sekaa gong Puri Pemecutan. Sejak 1966 ia menghimpun kurang lebih 50 seniman pahat dan lukis untuk melangsungkan pameran tetap di Puri Pemecutan hingga tahun 1978 dengan nama sanggar kesenian Puri Pemecutan.
Ia kemudian mengkoordinir pementasan sekaa gong secara tetap di Puri Pemecutan untuk konsumsi wisatawan. Tercatat sekaa gong Banjar Geladag, Sidakarya, Renon, Beraban, Bagawan, Padangsambian, Kerobokan pernah pentas di Puri Pemecutan berkat jasanya. Tahun 1975 ia memimpin sekaa gong Puri Pemecutan mewakili Indonesia dalam festival musik dan seni tari rakyat Asia di Tokyo. Dalam festival seni tari Asia di Hongkong tahun 1977, ia memimpin rombongan seni tari Bali untuk mewakili Indonesia.
Salah satu karya terbaik Ngurah Gede Pemecutan adalah lukisan yang mengisahkan tentang peristiwa perang Puputan Badung. Pada lukisan tersebut digambarkan suasana pertempuran antara pasukan Badung yang dipimpin raja Pemecutan melawan pasukan Belanda. Pada akhir pertempuran seluruh pasukan Pemecutan gugur dan hanya tersisa 2 orang bayi yang selamat. Karya yang memakan waktu pengerjaan hingga 18 bulan ini tak lain menceritakan tentang ayahanda Ngurah Gede Pemecutan sendiri, yaitu Anak Agung Gede Lanang Pemecutan.
Ngurah Gede Pemecutan memang memiliki perhatian besar kepada generasi muda, sehingga Museum Lukisan Sidik Jari pun tak lepas dari visi menginspirasi tersebut. Karena itu sejak awal penggagasannya, museum ini tidak hanya berfungsi sebagai wahana untuk mengabadikan karya sang maestro, tetapi juga menjadi sebuah wahana pendidikan. Selain ruang pameran, museum ini pun secara rutin mengadakan kelas tari serta melukis bagi anak-anak dan remaja.
Umbu Landu Paranggi
Umbu Landu Paranggi, lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943. Umbu melanjutkan sekolah di SMA BOPKRI I Yogyakarta, kuliah di Jurusan Sosiatri, Fakultas Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Hukum, Universitas Janabadra.
Sejak 1978 Umbu menetap di Bali dan pada Juli 1979 menjadi redaktur sastra di harian Bali Post. Seperti yang dilakukannya di Pelopor Yogya, di ruang sastra Bali Post Umbu dengan setia, tekun, dan telaten, menyemai dan merawat benih-benih sastrawan hingga tumbuh menjadi sosok-sosok yang dikenal dalam kesusastraan Indonesia, seperti Oka Rusmini, Tan Lioe Ie, Warih Wisatsana, Wayan Jengki Sunarta, Cok Sawitri, dan sebagainya.
Atas prakarsa sahabat karib Umbu, Tjie Jehnsen, pada 2019 diterbitkan sebuah buku berjudul “Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi”. Buku tersebut berisi sejumlah tulisan tentang kiprah Umbu dalam kesusastraan, foto kenangan, dan juga puisi-puisi Umbu. Umbu pernah mengasuh ruang sastra di mingguan Pelopor Yogya dan turut mendirikan Persada Studi Klub. Pada masa itulah Umbu dijuluki sebagai Presiden Malioboro.
Umbu memperoleh anugerah kebudayaan, antara lain Anugerah Kebudayaan 2018 dari Fakultas Ilmu Budaya, Univertitas Indonesia, Anugerah Dharma Kusuma 2018 dari Pemerintah Provinsi Bali, Penghargaan Pengabdian pada Dunia Sastra dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan pada tahun 2019, Penghargaan Akademi Jakarta pada tahun 2019, Bali Jani Nugraha 2020 dari Pemerintah Provinsi Bali. Hingga kini Umbu masih menetap di Bali dan aktif membina komunitas Jatijagat Kampung Puisi.